Daftar Blog Saya

Sabtu, 26 Maret 2011

Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama Islam

Oleh : Syafii Lubis

Pendidikan agama lebih luas dari pada pengajaran agama. Pendidikan Agama Islam tidak hanya bersifat mengajar dalam arti menyampaikan ilmu pengetahuan tentang agama kepada peserta didik , melainkan melakukan pembinaan mental spiritual yang sesuai dengan ajaran agama. Bahkan dalam arti luas dapat disamakan dengan pembinaan pribadi, yang dalam pelaksanaannya tidak hanya bisa terjadi melalui pelajaran yang diberikan dengan sengaja saja, melainkan menyangkut semua pengalaman yang dilalui anak sejak lahir dan berlaku untuk semua lingkungan hidup anak, mulai dari lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah dan sampai lingkungan masyarakat.

Dengan demikian, guru Pendidikan Agama Islam selain harus seorang Muslim yang taat mengamalkan ajaran agamanya, mengetahui dan memahami, meresapi dan menghayati soal-soal yang berkaitan dengan pengetahuan agama Islam, juga dituntut untuk menguasai metodologi pendidikan agama, baik teori maupun aplikasinya.

Dengan demikian, dalam melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru memerlukan wawasan yang luas dan utuh tentang kegiatan pembelajaran. Seorang guru harus mengetahui dan memiliki gambaran secara menyeluruh mengenai bagaimana proses pembelajaran itu terjadi serta langkah-langkah apa yang diperlukan sehingga tugas-tugas kependidikannya bisa dilakukan dengan baik dan memperoleh hasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Salah satu metode pendidikan yang diisyaratkan Allah di dalam Al Quran surah Al-Alaq adalah metode pembiasaan dan pengulangan. Latihan dan pengulangan yang merupakan metode praktis untuk menghafalkan atau menguasai suatu materi pelajaran termasuk ke dalam metode ini. Di dalam surah Al-Alaq metode ini disebut secara implisit, yakni dari cara turunnya wahyu pertama
( ayat 1-5 ). Malaikat Jibril menyuruh Muhammad Rasulullah SAW dengan mengucapkan إِقْرَا ( baca ! ) dan Nabi menjawab:
مَا اَنَا بِقَارِئٍ

( saya tidak bisa membaca ), lalu malaikat Jibril mengulanginya lagi dan Nabi menjawab dengan perkataan yang sama. Hal ini terulang sampai 3 kali. Kemudian Jibril membacakan ayat 1-5 dan mengulanginya sampai beliau hafal dan tidak lupa lagi apa yang disampaikan Jibril tersebut ( Erwita Aziz, 2003: 81).

Dengan demikian, menurut Erwita Aziz metode pembiasaan dan pengulangan yang digunakan Allah dalam mengajar Rasul-Nya amat efektif sehingga apa yang disampaikan kepadanya langsung tertanam dengan kuat di dalam kalbunya.

Di dalam ayat 6 surah Al-A’la, Allah menegaskan metode itu :
سَنُقْرِئُكَ فَلاَ تَنْسي

“ Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa” .

Ayat ini menegaskan bahwa Allah membacakan Al Quran kepada Nabi Muhammad SAW., kemudian Nabi mengulanginya kembali sampai ia tidak lupa apa yang telah diajarkan-Nya. Dalam ayat 1 – 5 Surah Al Alaq, Jibril membacakan ayat tersebut dan Nabi mengulanginya sampai hafal (Erwita Aziz, 2003: 82).

Perintah membaca dalam surah Al Alaq tersebut terulang sebanyak dua kali, yaitu pada ayat pertama dan ketiga. Hal ini menjadi indikasi bahwa metode pembiasaan dalam pendidikan sangat diperlukan agar dapat menguasai suatu ilmu.

Pembiasaan adalah upaya praktis dalam pendidikan dan pembinaan anak. Hasil dari pembiasaan yang dilakukan seorang pendidik adalah terciptanya suatu kebiasaan bagi anak didiknya. ”Kebiasaan itu adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan dulu, serta berlaku begitu saja tanpa dipikir lagi” ( Edi Suardi, tt. : 123 ). Seorang anak yang terbiasa mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam lebih dapat diharapkan dalam kehidupannya nanti akan menjadi seorang Muslim yang saleh.

Dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu sangat penting, karena banyak orang yang berbuat atau bertingkah laku hanya karena kebiasaan semata- mata. Tanpa itu hidup seseorang akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan sesuatu ia harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan. Kalau seseorang sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tak akan berpikir panjang ketika mendengar kumandang adzan, langsung akan pergi ke masjid untuk shalat
berjamaah.

Pembiasaan ini akan memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari.

Pembiasaan shalat, misalnya, hendaknya dimulai sedini mungkin. Rasulullah SAW. memerintahkan kepada para orang tua dan pendidik agar mereka menyuruh anak-anak mengerjakan shalat, ketika berumur tujuh tahun, sebagimana sabdanya yang diriwayatkan Tirmidzi :
مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ اِذِا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ اِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا

“Suruhlah olehmu anak-anak itu shalat apabila ia sudah berumur tujuh tahun, dan apabila ia sudah berumur sepuluh tahun, maka hendaklah kamu pukul jika ia meninggalkan shalat”.

Berawal dari pembiasaan sejak kecil itulah, peserta didik membiasakan dirinya melakukan sesuatu yang lebih baik. Menumbuhkan kebiasaan yang baik ini tidaklah mudah, akan memakan waktu yang panjang. Tetapi bila sudah menjadi kebiasaan , akan sulit pula untuk berubah dari kebiasaan tersebut.

Penanaman kebiasaan yang baik , sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas, sangat penting dilakukan sejak awal kehidupan anak. Agama Islam sangat mementingkan pendidikan kebiasaan, dengan pembiasaan itulah diharapkan peserta didik mengamalkan ajaran agamanya secara berkelanjutan. Beberapa metode dapat diaplikasikan dalam pembiasaan ini. ”Metode mengajar yang perlu dipertimbangkan untuk dipilih dan digunakan dalam pendekatan pembiasaan antara lain : metode Latihan (Drill), Metode Pemberian Tugas, Metode Demonstrasi dan Metode Eksperimen”( Ramayulis, 2005 : 129 ).

Bagaimana ? Tentu Anda punya pendapat lain yang bisa melengkapi tulisan ini. Baiklah komentar Anda ditunggu.

DAFTAR RUJUKAN

Aziz, Erwati. 2003. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. Solo : Tiga Serangkai Pustaka

Ramayulis . 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam . Jakarta : Kalam Mulia

Suardi, Edi . tt . Pedagogik 2 . Cetakan ke- 2 . Bandung : Angkasa.

Kamis, 24 Maret 2011

Ayat-Ayat Al-Qur'an Tentang Belajar Mengajar

Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan kalamullah yang mutlak kebenarannya, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak. Ajaran dan petunjuk tersebut amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya.
Namun demikian al-Qur’an bukanlah kitab suci yang siap pakai dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an tersebut, tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Ajaran al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general sehingga untuk dapat memehami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut, mau tidak mau seseorang harus melalui jalur tafsir sebagimana yang dilakukan oleh para ulama’.[1]
Salah satu pokok ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an adalah tentang kewajiban belajar mengajar, yang dalam makalah ini akan membahas tentang Surat al-Ankabut ayat 19 – 20.
19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
20. Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[2]
Allah SWT berfirman, menceritakan kisah Nabi Ibrahim a.s. bahwa Ibrahim memberi petunjuk kepada kaumnya untuk membuktikan adanya hari bangkit yang mereka ingkari melalui apa yang mereka saksikan dalam diri mereka sendiri. Yaitu bahwa Allah SWT menciptakan yang pada sebelumnya mereka bukanlah sesuatu yang disebut – sebut ( yakni tiada ). Kemudian mereka ada dan menjadi manusia yang dapat mendengar dan melihat. Maka Tuhan yang memulai penciptaan itu mampu mengembalikannya menjadi hidup kembali, dan sesungguhnya mengembalikan itu mudah dan ringan bagi-Nya.
Kemudian Ibrahim memberi mereka petunjuk akan hal tersebut melalui segala sesuatu yang mereka saksikan di cakrawala, berupa berbagai macam tanda – tanda kekuasaan Allah yang telah menciptakan-Nya. Yaitu langit dan bintang – bintang yang ada padanya, baik yang bersinar maupun yang tetap beredar. Juga bumi serta lembah – lembah, gunung – gunung yang ada padanya, dan tanah datar yang terbuka dan hutan – hutan, serta pepohonan dan buah – buahan, sungai – sungai dan lautan, semua itu menunjukkan statusnya sebagai makhluk, juga menunjukkan adanya yang menciptakannya, yang mengadakannya serta memilih segalanya.[3]
Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti firman-Nya ( siiru fi al-ardhi fandhuru ) ditemukan dalam al Qur’an sebanyak tujuh kali, ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah. Dengan perjalan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah.[4]
Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupaun dari peninggalan – peninggalan lama yang masih tersisa puing – puingnya.
Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti.
Sebagai tambahan perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewjiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut Nabi , tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada’ pada hari pembalasan.dengan demikian, para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu guru dan murid dipandang sebagai ‘‘ orang-orang terpilih’’ dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan mereka.hal ini sejalan dengan ayat al-Qur’an surat al-Taubah ayat 122 yang artinya berbunyi :
Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(Q.S.9.122 ).
Sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai daripada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu, al-‘alim daripada ahli ibadah, al – ‘abid, adalah seperti kelebihan Muhammad atas orang Islam seluruhnya. Di kalangan kaum muslimin hadits ini sangat popular sehingga mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah.
Dalam Islam, nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahanoleh Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut dan mencari ilmu. Motivasi religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang disebut al – rihla fi talab al – ‘ilm ‘ Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu’adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama.
Rihla, tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan kebutuhan untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai – nilai religius. Hadits – hadits Nabi mebuktikan suatu hubungan tertentu :” Seseorang yang pergi mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memeperoleh pahala seperti orang yang berperang menegakkan agama. Para malaikat membentangkan sayap kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan dan air”.
Islam secara mutlaq mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi menyatakan bahwa jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan.[5] Siapaun sepakat hadits Nabi yang berbunyi Utlub al ‘ilm walau kana bi al – shin, menekankan betapa pentingnya mencari ilmu lebih – lebih ilmu agama yang dikategorikan Imam Ghozali sebagai fardlu ‘ain.[6]
Disamping Hadits Nabi yang berkenaan dengan al- shin nabi juga menyinggung tentang al – yahud yang mana dikisahkan bahwa Nabi menyuruh sekretarisnya untuk mempelajari kitab al – Yahud sebagai proteksi diri dari penipuan kaum yahudi. Dari kedua hadits tersebut diungkapkan untuk memberi penekananan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara ilmu pengetahuan dan dengan kemajuan serta ketahanan peradapan Islam.

________________________________________
[1] DR.H Abddin Nata,MA. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 2002.
Cet I,hlm.1-2
[2] Prof.H. Mahmud Junus. Tarjamah Al-Qur’an Al-Karim. Bandung. PT. al-Ma’arif. 1997. Cet 12. hlm.360.
[3] Al – Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung. Sinar Baru Algensindo. 2004.
Cet I hlm. 245.
[4] M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. hlm. 468.
[5] Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.D. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta.
Gama Media.2002. hlm.24 -27.
[6] Ibid. hlm.74.

Metode Pendidikan Islam

Oleh : Syafii Lubis
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berati “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”. Dengan demikian metode dapat berati cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.1 Ada pula yang mengatakan bahwa metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut.2 Ada lagi yang berpendapat bahwa metode sebenarnya berati jalan untuk mencapai tujuan3 Dengan pengertian yang terakhir ini, metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengembangkan suatu gagasan sehingga menghasilkan suatu teori atau temuan.
Sedang yang dimaksud dengan metode pendidikan adalah cara yang digunakan dalam upaya mendidik.Kata “metode” di sini diartikan secara luas. Karena mengajar adalah salah satu bentuk mendidik, maka metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode mengajar.
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode dapat pula mengandung arti sebagai cara untuk menggali, memahami dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Inilah pengertian-pengertian metode yang dapat dipahami dari berbagai pendapat yang disusun para ahli.
Adapun pengertian metode sebagai diungkapkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an, ternyata memperlihatkan muatan, nuansa, dan kaitan yang amat luas. Kata toriqah terkadang digunakan sebagai sarana untuk mengantarkan kepada suatu tujuan, terkadang Al-Qur’an menunjukan tentang sifat dari jalan yang ditempuh itu, dan terkadang pula berarti suatu tempat. Dengan demikian, metode atau jalan oleh Al-Qur’an dilihat dari sudut objeknya, fungsinya, sifatnya, akibatnya dan sebagainya. Ini dapat diartikan bahwa perhatian Al-Qur’an terhadap metode demikian tinggi. Al-Qur’an lebih menunjukan isyarat-isyarat yang memungkinkan metode dikembangkan lebih lanjut. Namun demikian, secara eksplisit Al-Qur’an tidak menunjukan arti dari metode pendidikan Islam, karena Al-Qur’an memang bukan ilmu pengetahuan tentang metode. Pemahaman yang luas dan mendalam terhadap ayat-ayat yang mengisyaratkan pentingnya metode sangat dituntut untuk menemukan cara yang tepat dalam menyampaikan pendidikan dan pengajaran. Karena disadari, tentu ada metode yang baik untuk pelajaran dan guru tertentu, tetapi tidak cocok untuk pelajaran lainnya.
Dalam bahasa Arab kata metode diuangkapkan dalam berbagai kata. Tekadang digunakan kata at-tariqah, manhaj, dan al-washilah. At-tariqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, dan al-wasilah berarti perantara atau mediator.4 Dengan demikian, kata Arab yang dekat dengan arti metode adalah at-tariqah. Kata at-toriqah, menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqy diulang sembilan kali.5 Kata ini kadang dihubungkan dengan obyeknya yang dituju oleh at-tariqah seperti neraka (QS. An-Nisa [4] : 169);
الاّ طريق جهنـم خلدين فيـهآ ابدا وكان ذلك على الله يسيرا
(النساء: ۱۶۹)
terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti at-thariqah al-mustaqimah, yang berarti “jalan yang lurus” (QS.Al-Ahqaf [46]:30); (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
قالوا يقومنا انّا سمعنا كتابا انزل من بعد موسى مصدّقالما بين يديه يهدي الى الحقّ والى طريق مستـقيم ( الاحقاف :٣٠)
tekadang dihubungkan dengan jalan yang ada ditempat tertentu, seperti at-thariqah fil bahr yang berarti jalan (yang kering) di laut (QS.Thaha [20] : 77); (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
ولقد اوحينآ الى موسى ان اَسر بعبادي فاضرب لهم طريقا فى البحر يبسالاّ تخـفُ دركا ولا تخشى (طـه :٧٧
terkadang dihubungkan dengan akibat dari kepatuhan mematuhi jalan tersebut, seperti pada ayat:
وان لّو استقاموا على الطّريقة لاسقينـهم مّاء غدقا (الجن :۱۶
“Dan bahwasannya : jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (Agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeqi yang banyak) (QS. Al-Jin [72]:16); (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993), dan terkadang at-tariqah berarti tata surya atau langit, seperti pada ayat:
ولقد خلقنا فوقكم سبع طرآئق وما كنّا عن الخلق غافلين
(المؤمنون :۱۷)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit); dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami) (QS. Al-Mu’minun [23]:17). (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
Dari pendekatan kebahasaan tersebut nampak bahwa metode lebih menunjukan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik. Yakni jalan dalam bentuk ide-ide, gagasan-gagasan yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang ditentukan. Namun demikian, secara terminologis atau istilah kata metode bisa membawa kepada pengertian yang bermacam-macam sesuai dengan konteksnya.
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi seperti dikutip oleh As-Syaibani mendepinisikan metode mengajar dalam bukunya Ruh At-Tarbiyyah watta’lim : “Ia adalah jalan yang kita ikuti untuk memberi faham kepada murid-murid segala macam pelajaran,sekaligus merupakan rencana yang dibuat untuk menyampaikan pelajaran di dalam kelas. Muhammad Abd. Rohim Ghunaimah mentakrifkan bahwa metode mengajar sebagai : Cara-cara yang praktis yang menjalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran.6
Hasan Langgulung mengatakan, karena pelajaran agama sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an itu bukan hanya satu segi saja, melainkan bermacam-macam yaitu ada kognitifnya seperti tentang fakta-fakta sejarah, syarat-syarat sah sembahyang, ada asfek affektifnya, seperti penghayatan pada nilai-nilai keimanan dan akhlak, dan ada asfek psikomotorik seperti praktik shalat, haji dan sebagainya. Maka metode untuk mengajarakannyapun bermacam-macam, sehingga metode tarbiyah Islamiyah itu dapat diartikan sebagai metode pengajaran yang disesuaikan dengan materi atau bahan pelajaran yang terdapat dalam Islam itu sendiri. Karena muatan ajaran Islam itu luas, maka metode tarbiyah Islamiyah pun cakupannya luas pula.7
A. Fungsi Metode
Fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan. Sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari dua pendekatan ini segera dapat dilihat bahwa pada intinya metode berfungsi mengantarkan suatu tujuan kepada obyek sasaran dengan cara yang sesuai dengan perkembangan obyek sasaran tersebut. Dalam Al-Qur’an sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini, metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang kepada tujuan penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi dengan melaksanakan pendekatan di mana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi rohaniah dan jasmaniah yang keduanya dapat digunakan saluran penyampaian materi pelajaran. Karenanya terdapat suatu prinsip umum dalam memfungsikan metode, yaitu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan. Banyaknya metode yang ditawarkan para ahli sebagaimana dijumpai dalam buku-buku kependidikan lebih merupakan usaha mempermudah atau mencari jalan paling sesuai dengan perkembangan jiwa anak dalam menerima pelajaran.
Dalam menyampaikan materi pendidikan kepada peserta didik sebagaimana disebutkan di atas perlu ditetapkan metode yang didasarkan kepada pandangan dalam menghadapi manusia sesuai dengan unsur penciptaannya, yaitu jasmani, akal, dan jiwa yang dengan mengarahkannya agar menjadi orang yang sempurna. Karena itu materi-materi pendidikan yang disajikan oleh Al-Qur’an senantiasa mengarah kepada pengembangan jiwa, akal, dan jasmani manusia itu, hingga dijumpai ayat yang mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Tuhan, yaitu ayat yang berbunyi :
… وما رميت إذ رميت ولكنّ الله رمى … (الانفال : ۱٧
“Dan bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (QS. Al-Anfal [8]:17). (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
Dengan demikian, jelaslah bahwa metode amat berfungsi dalam menyampaikan materi pendidikan. Namun, hal itu merupakan perspektif Al-Qur’an harus bertolak dari pandangan yang tepat terhadap manusia sebagai mahluk yang dapat dididik melalui pendekatan jasmani, jiwa, dan akal pikiran. Karena itu ada materi yang berkenaan dengan dimensi afektif, dan psikomotorik, dan ada materi yang berkenaan dengan dimensi kognitif yang kesemuanya itu menghendaki pendekatan metode yang berbeda-beda.
B. Macam-macam Metode
Dalam pendidikan Islam ada mata pelajaran agama Islam. Pengajaran agama Islam mencakup pembinaan ketrampilan, kognitif dan efektif. Nah, bagian afektif inilah yang amat rumit itu. Ini menyangkut pembinaan rasa iman, rasa beragama pada umumnya. Pembahasan metodologi untuk mendidik rasa beragama banyak pakar yang menawarkan metode-metode tersebut. Salah satunya adalah an-Nahlawi (1989).
Menurut an-Nahlawi – seperti dikutip oleh Ahamad Tafsir- (Tafsir : 135-147), dalam Al-Qur’an dan hadits dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa, dan membangkitkan semangat. Metode-metode itu, katanya mampu menggugah puluhan ribu muslimin untuk membuka hati umat manusia menerima tuntunan Tuhan. 8 Metode dimaksud adalah :
1. Metode hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi
2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi
3. Metode amtsal (perumpamaan) Qur’ani dan Nabawi
4. Metode uswah hasanah (keteladanan)
5. Metode pembiasaan
6. Metode ‘ibrah dam mau’izah
7. Metode targhib dan tarhib
Dengan metode-metode ini diharapkan kita bisa menanamkan rasa iman, rasa cinta kepada Allah, rasa nikmatnya beribadah (salat, puasa, dan lain-lain), rasa hormat pada orang tua, dan sebagainya. Hal ini agaknya sulit ditempuh dengan cara empiris dan logis. Di sini penyusun mencoba mencari alternatif yang mungkin lebih baik, yaitu mencobakan metode-metode yang menyentuh perasaan. Di sini kita mendidik bukan melewati akal tapi langsung masuk pada perasaan anak didik. Orang-orang di Pesantren telah melakukan cara ini. mereka mendidik atau menanamkan rasa beragama dengan membiasakan membaca wirid, aurad, puji-pujian, dengan contoh tingkah laku, dan sebagainya. Dan kelihatannya mereka cukup berhasil dalam usaha-usahanya itu. Di sekolah bagaimana? mari kita renungkan metode-metode yang ditawarkan an-Nahlawi berikut ini.
1. Metode Hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi
Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan pada suatu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu materi pembicaraan tidak dibatasi, bisa masalah agama, filsafat, sains dan lain-lain. Kadang-kadang pembicaraan sampai pada kesimpulan , kadang-kadang tidak ada kesimpulan karana salah satu fihak tidak puas terhadap pendapat pihak lain. Hiwar mempunyai pengaruh terhadap jiwa pendengar atau pembaca yang mengikuti topik pembicaraan secara serius dan penuh perhatian. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
Pertama, dialog berlangsung hidup dan dinamis kerena kedua belah pihak atau semua yang hadir terlibat langsung dalam pembicaraan; kedua belah pihak saling memperhatikan. Dan terus mengikuti pola pikir teman-temannya, sehinga dapat menghasilkan sesuatu yang baru, yang mungkin belum diketahui sebelumnya.
Kedua, Pendengar atau pembaca tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena ia ingin tahu kesimpulannya. Ini biasanya diikuti dengan penuh perhatian dan semangat.
Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa, yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.
Keempat, hiwar dilakukan dengan baik, sopan santun, menghargai pendapat orang lain sehingga menimbulkan kesan yang baik pula diantara para peserta.
Menurt an-Nahlawi (1989:285) dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. terdapat berbagai jenis hiwar, seperti :
• Hiwar khitabi atau ta’abudi
• Hiwar washfi
• Hiwar qishashi (percakapan tentang sesuatu melalui kisah)
• Hiwar jadali, dan
• Hiwar Nabawi.
Hiwar khitabi atau ta’abbudi merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dan hamba-Nya. Tuhan memanggil hamba-Nya dengan mengatakan , “Wahai, orang-orang yang beriman, “dan hamba-Nya menjawab dalam kalbunya dengan mengatakan, “Kusambut panggilan Engkau, ya Rabbi. “Dialog antara Tuhan dan hamba-Nya ini menjadi petunjuk bahwa pengajaran seperti itu dapat kita gunakan, dengan kata lain, metode dialog merupakan metode pengajaran yang pernah digunakan Tuhan dalam mengajari hamba-Nya. Logikanya, kita pun dapat menggunakan dialog dalam pengajaran. Ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huraerah yang menggambarkan dialog Rasulullah dengan Tuhannya.
… سمعت النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم يقول: قال الله تعالى: قسمت الصّلاة بينى وبين عبدي نصفين ولعبدي ما سأل. فاذا قال العبد: الحمد لله ربّ العلمين, قال الله تعالى حمدني عبدي. واذا قال: الرّحمن الرّحيم, قال الله تعالى اثنا عليّ عبدي. واذاقال ملك يوم الدّين, قال: مجّدني عبدي. (وقال مرّة: فوّض اليّ عبدي), واذا قال: ايّاك نعبد وايّاك نستعين قال: هذا بيني وبين عبدي ولعبدي ما سأل. فاذا قال اهدناالصّراط المستقيم صراط الّذين انعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولاالضّالّين, قال: هذا لعبدي ولعبدي ما سأل (رواه مسلم
Aku mendengar Nabi Saw. bersabda, “Allah ta’ala berfirman “. “Aku membagi shalat ke dalam dua bagian, untuk-Ku dan untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku adalah apa yang dimintanya.” Apabila seorang hamba mengucapkan ‘Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, ‘maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Apabila mengucapkan ‘Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Apabila mengucapkan ‘Yang menguasai hari pembalasan,’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan Aku, dan suatu ketika berfirman : ‘Hamba-Ku telah berserah diri kepada-Ku.’Apabila mengucapkan : ‘Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, ‘maka berfirman : ‘Ini untuk-Ku dan untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku adalah apa yang dia minta.’ Dan apabila mengucapkan : Tunjukanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat, ‘maka berfirman, Ini untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku adalah apa yang dia minta.” (HR. Muslim)9
Dalil lain yang menunjukan adanya hiwar ialah hadits berikut :
كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم اذا قرأ اليس ذلك بقادر على ان يحيي الموتى؟ قال: سبحانك فبلى, واذا قرأ سبّح اسم ربّك الأعلى, قال: سبحان ربّي الأعلى (رواه البيهقي
Apabila Rasulullah saw. membaca “Bukanlah Allah Maha Kuasa menghidupkan orang mati ?” dia mengucapkan, Maha Suci Engkau Yang Maha Besar. “Dan bila dia membaca : “Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, maka dia mengucapkan ‘Mahasuci Rabbku Yang Maha Tinggi.( HR. Abu Dawud dan Baihaqi).10
Kedua hadits di atas merupakan dalil adanya hiwar ta’abbudi, yaitu dialog tentang pengabdian kepada Tuhan.Tasbih, tahmid, takbir dan ta’awwuz yang diucapkan Nabi kepada Tuhan jelas merupakan suatu munajat kepada Allah, sekaligus merupakan dalil adanya hiwar dalam hadits-hadits Rasulullah saw.
Melalui hiwar ta’abbudi atau khitabi, Al-Qur’an menanamkan hal-hal penting sebagai berikut :
a. Agar tanggap terhadap persoalan yang diajukan Al-Qur’an, merenungkannya, menghadirkan jawaban sekurang-kurangnya dalam kalbu.
b. Menghayati makna kandungan Al-Qur’an
c. Mengarahkan tingkah laku agar sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an
d. Menanamkan rasa bangga karena dipanggil oleh Tuhan, “Hai, orang-orang yang beriman …”.
Dalam hiwar khitabi ini dialog dimulai dari pihak kesatu, yaitu sipembicara, sedangkan pihak kedua yang menyambutnya memperhatikan dengan emosinya, lalu terpanggil untuk menyambutnya dengan pikiran dan perasaannya.
Adapun hiwar washfi ialah dialog antara Tuhan dengan malaikat atau mahluk gaib lainnya. Dalam surat as-Shaffat ayat 20-23 ada dialog antara Tuhan dengan penghuni neraka :
وقالوا يويلنا هذا يوم الدّين, هذا يوم الفصل الّذي كنتم به تكذّبون, اخشرواالّذين ظلموا وازواجهم وما كانو يعبدون من دون الله فاهدوهم الى صراط الجحيم (الصفت ٢٠-٢٣
Dan mereka berkata : ‘Aduhai celakalah kita ! Inilah hari pembalasan. Inilah hari keputusan yang kalian selalu mendustakannya. (Kepada malaikat diperintahkan) : kumpulkanlah orang-orang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah. Maka tunjukanlah kepada mereka jalan ke neraka”. (QS. As-Shaffat [37]:20-23) (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
Di sini Allah berdialog dengan malaikat. Topik pembicaraannya tentang orang-orang zalim. Dalam surat as-Shaffat ayat 27-28 :
واقبل بعضهم على بعض يّتسآءلون, قالوآ انّكم كنتم تأتوننا عن اليمين (الصفت ٢٧-٢۸
Sebagian dari mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil berbantah-bantahan. Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka) : ‘Sesunguhnya kalianlah yang datang kepada kami dari kanan”.(QS. As-Shaffat [37]:27-28). (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
Para pemimpin kezaliman hendak berlepas diri dari tanggung jawab, seraya berkata :
قالوا بل لم تكونوا مؤمنين, وما كان لنا عليكم من سلطن بل كنتم قوما طغين, فحقّ علينا قول ربّنآ انّا لذآئقون فأغوينكم انّا كنّا غوين (الصفت ٢۹-۳٢
Pemimpin-pemimpin mereka menjawab : ‘Sebenarnya kalianlah yang tidak beriman, dan sekali-kali kami tidak berkuasa terhadap kalian, bahkan kalianlah kaum yang melampaui batas, maka pastilah putusan (adzab) Rabb kita menimpa atas kita. Sesungguhnya kita akan merasakan (adzab itu). Maka kami telah menyesatkan kalian, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat”. (QS. As-Shaffat [37]:29-32). (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
Menurut an-Nahlawi (1989:309) hiwar washfi menyajikan kepada kita gambaran yang hidup tentang kondisi psikis ahli neraka dan ahli surga. Dengan imajinasi dan deskripsi yang rinci, hiwar washfi memperlancar berlangsungnya pendidikan perasaan ketuhanan. Gambaran tentang penyesalan ahli neraka itu seolah-olah dirasakan oleh pembaca atau pendengar dialog itu; pendengar itu seolah-olah terlibat dalam dialogi tersebut. Lantas ada pemihakan. Kemudian dipihak mana aku ? Hiwar washfi seolah-olah mengingatkan pendengar dialog itu, ‘jangan kalian terjerumus seperti mereka itu. Dialog juga terjadi antara ahli surga, seperti yang tercantum dalam surat as-Shaffat ayat 50-57 sebagai berikut.
فأقبل بعضهم على بعض يّتسآءلون, قال قائل منهم انّي كان لى قرين, يقول ائِنّك لمن المصدّقين, ءاذا متنا وكنّا ترابا وعظاما ءانّا لمدينون قال هل انتم مطّلعون, فاطّلع فرآه في سوآء الجحيم, قال تالله ان كدتّ لتردين, ولولا نعمة ربّي لكنتُ من المحضرين (الصفت ٥٠-۵۷
“Lalu sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang diantara mereka: “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia mempunyai seorang teman), yang berkata: “Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit) ?. apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan) ?. “ berkata pulalah ia : “maukah kamu meninjau (tempatku itu) ? “ maka ia meninjaunya lalu dia melihat temannya itu ditengah-tengah neraka menyala-nyala. Ia berkata (pula: demi Allah sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakan, jikalau tidaklah karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret (ke neraka) (As-Shafat [37] 50-57) (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
Hiwar qishashi terdapat dalam Al-Qur’an, yang baik bentuk maupun rangkaian ceritanya sangat jelas, merupakan bagian dari uslub kisah dalam Al-Qur’an. Kalaupun di sana kisah yang keseluruhannya merupakan dialog langsung, yang sekarang disebut sandiwara, hiwar ini tidak dimaksudkan sebagai sandiwara. Sebagai contoh adalah kisah Syu’aib dan kaumnya dalam surat Hud. Sepuluh ayat pertama dari surat ini merupakan hiwar (dialog), kemudian Allah mengakhiri kisah ini dengan dua ayat yang menerangkan akibat yang diterima oleh kaum Nabi Syu’aib.Mari kita lihat terjemahan sebagian dari surat Hud ayat 84-95 :
Dan kepada penduduk Madyan Kami utus Syu’aib. Ia berkata, “Hai, kaumku, beribadahlah kepada Allah, jangan bertuhan selain-Nya… Jangan mengurangi timbangan, saya khawatir nanti kalian mendapat azab dari Tuhan.” …. Mereka berkata, “hai, Syu’aib, apakah kamu menyuruh kami meninggalkan apa yang disembah oleh pimpinan kami atau melarang kami berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami ? “Syu’aib berkata-kata, Hai, kaumku…. (dan seterusnya). Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya…, dan orang-orang yang zalim itu dibinasakan oleh suara yang mengguntur…. Ingatlah, kebinasaanlah yang ditimpakan kepada penduduk Madyan seperti binasanya kaum Tsmaud (Hud :84-95).
Hiwar seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Hiwar ini dapat berpengaruh pada kejiwaan pendengarnya.Hal itu disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Kekuatan hiwar ini terletak pada pengisyaratan, yaitu pengisyaratan agar tidak memihak kepada orang zalim; alasan orang zalim itu lemah.
b. Hiwar ini membawakan alasan yang kuat, yaitu alasan yang datang dari Nabi dan dari Tuhan; alasan ini mengalahkan alasan orang zalim.
c. Hiwar ini mengisahkan dialog secara berseling. Ini akan menajamkan persoalan yang didialogkan sehingga terjalin kisah panjang yang kuat alur ceritanya.
Dengan hiwar ini diharapkan para pelajar memihak kepada yang benar dan membenci pihak yang salah.
Hiwar jadali bertujuan untuk memantapkan hujjah (alasan). Contohnya antara lain dalam surat an-Najm [53] [1-5]:
والنّجم اذا هوى, ما ضلّ صاحبكم وما غوى, وما ينطق عن الهوى, ان هو الاّ وحي يّوحى علّمه شديد القوى (النجم ۱-٥
“Demi bintang ketika terbenam, kawan kalian (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu adalah wahyu yang diberikan kepadanya yang diajarkan oleh Jibril yang perkasa. (surat an-Najm [53] 1-5) (Depag RI, Al-Qur’an dan trjemahnya, 1993)
Dalam ayat ke 10-18 surat yang sama, Allah menetapkan hujjah (alasan) yang ditujukan kepada orang-orang musyrik bahwa rasul-Nya menyampaikan berita benar, melalui suatu penglihatan yang nyata. Muhammad itu tidak berdusta dengan dikuatkan oleh Allah dengan memperlihatkan tanda-tanda yang nyata kepada Muhammad. Adapun pada penggalan lain rangkaian ayat ini, yaitu ayat 19-20, dibandingkan oleh Allah kekuatan yang dibawa Muhammad dan kekuatan alasan orang musyrik. Orang musyrik itu beralasan dengan mengajukan tuhan-tuhan (berhala-berhala) mereka:
افرأيتم اللت والعزّى ومنوة الثالثة الاخرى
Apakah patut kalian (orang musyrik) menganggap al-lata dan al-uzza dan manat yang ketiga (sebagai sembahan yang benar) ?. Depag RI, Al-Qur’an dan trjemahnya, 1993
Memang terasa bahwa alasan Muhammad lebih kuat dari pada alasan orang yang mengingkarinya. Kemudian, bila diteruskan kepada ayat 21-23 surat an-Najm itu, akan jelas kelihatan pikiran orang-orang musyrik itu. Kemudian Allah menunjukan tingkat pemikiran mereka itu; pikiran mereka itu tidak menghasilkan apa-apa:
ان يّتّبعون الاّ الظّنّ وما تهوى الانفس ولقد جاءهم مّن رّبّهم الهدى (النجم ٢٣
“Mereka tidak lain kecuali; mengikuti sangkaan-sangkaan dan mengikuti kehendak hawa nafsu mereka, padahal petunjuk dari Tuhan telah datang”. (Depag RI, Al-Qur’an dan trjemahnya, 1993)
Hiwar jadali mempunyai implikasi pedagogis sebagai berikut:
a. Mendidik orang menegakkan kebenaran dengan menggunakan hujjah yang kuat.
b. Dengan alasan yang kuat, mendidik orang menolak kebatilan karena pikiran itu rendah.
c. Mendidik orang menggunakan pikiran yang sehat.
Hiwar Nabawi adalah hiwar yang digunakan para Nabi dalam mendidik sahabat-sahabatnya. Dia menghendaki agar sahabatnya mengajukan pertanyaan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim disebutkan:
كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يوما بارزا للنّاس, وفي رواية قال رسول الله سلوني فهابوه ان يّسألوه فجاء رجل فجلس عند ركبتيه فقال يا رسول الله ماالاسلام ؟ قال : لا تشرك بالله شيئا وتقيم الصلاة وتؤتي الزّكاة وتصوم رمضان. قال: صدقت… الحديث (رواه البخاري ومسلم
“Pada suatu hari Rasulullah saw. menampakkan dirinya kepada orang banyak. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa dia bersabda , “Bertanyalah kepadaku.” Orang-orang takut untuk bertanya kepadanya. Maka datanglah seorang laki-laki, lalu duduk dihadapannya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Islam itu ? Dia menjawab, “Engkau tidak menyekutukan Allah…,” (dan seterusnya).
Dari hadits ini kita mengetahui :dianjurkan kepada guru-guru agar mendorong murid-muridnya untuk beratanya.
Metode ini menarik perhatian para Sahabat karena sering sekali Jibril datang kepada Nabi Muhammad bertanya. Setelah Jibril itu pergi, rasul mengatakan bahwa itu adalah Jibril, datang untuk mengajari mereka. Memang ayat 101 surat al-Maidah melarang orang bertanya , yaitu tentang hal-hal yang bila ditanyakan akan menyusahkan. Oleh karena itu, datanglah Jibril untuk menjelaskan bolehnya bertanya apabila dimaksudkan untuk mengambil manfaat seperti untuk mengajar.
Dari uraian ini kita mengetahui bahwa metode hiwar adalah metode pendidikan Islami, terutama untuk menanamkan rasa iman, yaitu pendidikan rasa (afektif).
2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi
Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu mata pelajaran), kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat penting, alasannya antara lain :
a. Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya, makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut.
b. Kisah Qur’ani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu menampilkan tokoh dan konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya. Kisah itu, sekalipun menyeluruh, terasa wajar, tidak menjijikan pendengar atau pembaca. Bacalah kisah Yusuf, misalnya. Inilah salah satu keistimewaan kisah Qur’ani, tidak sama dengan kisah-kisah yang ditulis orang sekarang yang isinya banyak ikut mengotori hati pembacanya.
c. Kisah Qur’ani mendidik perasaan keimanan dengan cara :
1) membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, raja, rida dan cinta;
2) mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah;
3) melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional.
Kisah Qur’ani bukanlah hanya semata kisah atau semata-mata karya seni yang indah; ia juga suatu cara Tuhan mendidik umat agar beriman kepada-Nya. Jika diringkaskan, tujuan kisah Qur’ani adalah sebagai berikut :
1) Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah. Mewujudkan rasa mantap dalam menerima Qur’an dan keputusan Rasul-Nya. Kisah-kisah itu menjadi bukti kebenaran wahyu dan kebenaran Rasul saw.
2) Menjelaskan bahwa secara keseluruhan. ad-din itu datangnya dari Allah
3) Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mencintai rasul-Nya; menjelaskan bahwa kaum mukmin adalah umat yang satu, dan Allah adalah Rabb mereka.
4) Kisah-kisah itu bertujuan menguatkan keimanan kaum muslimin, yang menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang menimpa.
5) Mengingatkan bahwa musuh orang mukmin adalah setan, Menunjukan permusuhan abadi itu lewat kisah akan tampak lebih hidup dan jelas.
Ditinjau dari dampak paedagogis, kisah Nabawi tidak berbeda dari kisah Qur’ani di atas. Akan tetapi, bila ditinjau secara mendalam, ternyata kisah nabawi berisi rincian yang lebih khusus seperti menjelaskan pentingnya keikhlasan dalam beramal, menganjurkan bersedekah dan mensyukuri nikmat Allah. Pokoknya kisah nabawi kebanyakan merupakan rincian yang lebih khusus dari ajaran Islam.
3. Metode amtsal (Perumpamaan)
Adakalanya Tuhan mengajari umat dengan membuat perumpamaan, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 17:
مثلهم كمثل الّذي استوقد نارا فلمّا اضاءت ما حوله ذهب الله بنورهم وتركهم فى ظلمت لاّيبصرون (البقرة: ۱۷
“Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti yang menyalakan api” (surat al-Baqarah [1] 17) (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
….Dalam surat al-Ankabut ayat 41 Allah mengumpamakan sesembahan atau tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba [29] [41]:
مثل الّذين اتّخذوا من دون الله اوليآء كمثل العنكبوت اتّخذت بيتا وانّ اوهن البيوت لبيت العنكبوت لوكانوا يعلمون (العنكبوت ۴۱
Cara seperti itu dapat juga digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu saja sama dengan metode kisah, yaitu dengan berceramah atau membaca teks. Kebaikan metode ini antara lain adalah sebagai berikut :
a. Mempermudah siswa memahami konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda kongkrit seperti kelemahan tuhan orang kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba. Sarang laba-laba memang lemah sekali, disentuh dengan lidipun bisa rusak. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim Nabi mengumpamakan “harga” dunia ini dengan anak kambing yang bertelinga kecil dan sudah mati : dari Jabir diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. sedang lewat disebuah pasar. Ada seekor anak kambing bertelinga kecil yang sudah mati, lalu diangkatnya telinga anak kambing itu seraya berkata, “ siapa di antara kalian yang ingin memiliki anak kambing ini dengan membayar satu dirham ?” Orang-orang menjawab, “ Kami tidak sudi membeli anak kambing itu dengan membayar sesuatu. Apa manfaatnya ? “ Ia bertanya lagi, “Atau barangkali kalian ingin memilikinya secara gratis ?” Mereka menjawab, “ demi Allah, sekalipun anak kambing itu masih hidup, kami tak ingin memilikinya karena cacat pada telinganya, apalagi sudah mati.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “ demi Allah, sesungguhnya bagi Allah dunia ini lebih hina dari pada anak kambing ini bagi kalian”.
b. Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut. Dalam hal ini Abduh mengatakan, tak kala menafsirkan kata darb dalam surat al Baqarah ayat 26, “penggunaan kata darb dimaksudkan untuk mempengaruhi dan membangkitkan kesan, seakan-akan sipembuat perumpamaan menjewer telinga pembaca dengannya sehingga pengaruh jeweran itu meresap ke dalam kalbu”.
c. Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah logis, mudah dipahami. Jangan sampai dengan menggunakan perumpamaan malah pengertiannya kabur atau hilang sama sekali. Perumpamaan harus memperjelas konsep, bukan sebaliknya. Keistimewaan perumpamaan dalam Al-Qur’an ialah natijah (Konklusi) Silogismenya justru tidak disebutkan, yang disebutkan hanya premis-premisnya. Ini hebat karena begitu jelas kongklusinya sampai-sampai tidak disebutkanpun, kongklusi itu dapat ditangkap pengertiannya. Biasanya silogisme selalu menyebutkan konklusi setelah premis. Kongklusi silogisme dari Allah (perumpamaan itu) kebanyakan harus ditebak sendiri oleh pendengar atau pembaca. Allah tahu manusia dapat menebaknya.
d. Amtsal Qur’ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan. Jelas hal ini amat penting dalam pendidikan Islam.
4. Metode Teladan
Kita mungkin saja dapat menyusun sistem pendidikan yang lengkap, tetapi semua itu masih memerlukan realisasi, dan realisasi itu dilaksanakan oleh pendidik. Pelaksanaan realisasi itu memerlukan seperangkat metode, metode itu merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidikan. Pedoman itu memang diperlukan karena pendidik tidak dapat bertindak secara alamiah saja. Agar tindakan pendidikan dapat dilakukan lebih efektif dan lebih efisien. Di sinilah teladan merupakan salah satu pedoman bertindak.
Murid-murid cenderung meneledani pendidiknya, ini diakui oleh semua ahli pendidikan, baik dari Barat maupun dari Timur. Dasarnya ialah karena secara psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelekpun ditirunya. Sifat anak didik itu diakui dalam Islam. Umat meneladani nabi, nabi meneladani Al-Qur’an. Aisyah pernah berkata bahwa akhlak Rasul Allah itu adalah Al-Qur’an. كان خلقه القرآن
Pribadi rasul itu adalah intrepretasi Al-Qur’an secara nyata. Tidak hanya caranya beribadah, cara berkehidupan sehari-haripun kebanyakan merupakan contoh cara berkehidupan Islam. Contoh-contoh dari rasul itu kadang-kadang amat asing bagi manusia ketika itu. Contohnya, Allah menyuruh Rasulnya mengawini bekas istri Zaid, Zaid itu anak angkat rasul. Ini ganjil bagi orang Arab ketika itu. Dengan itu Allah memberikan teladan secara praktis yang berisi ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung, bekas istri anak angkat boleh dikawini.
… فلمّا قضى زيد منها وطرا زوّجناكها لكي لا يكون على المؤمنين حرج في ازواج ادعيآ ئهم اذا قضوا منهنّ وطرا وكان امر الله مفعولا( الاحزاب 36-39.
“Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi mukmin untuk mengawini bekas istri anak angkat mereka.” Al-Ahzab [33] [37]. (Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1993)
Banyak contoh yang diberikan oleh Allah yang menjelaskan bahwa orang (dalam hal ini terutama guru) jangan hanya berbicara, tetapi juga harus memberikan contoh secara langsung. Dalam peperangan, nabi tidak hanya memegang komando, dia juga ikut perang, menggali parit perlindungan. Dia juga menjahit sepatunya, pergi berbelanja ke Pasar dan lain-lain.
Dari uraian di atas, apa yang dapat kita ambil bagi perkembangan teori pendidikan Islam ? Ada beberapa konsep yang dapat dipetik dari sana :
a. Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Yang memberikan teladan itu adalah guru, Kepala sekolah, dan semua aparat sekolah. Dalam pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, para da’i. Konsep ini jelas diajarkan oleh Rasul saw. seperti diuraikan di atas.
b. Teladan untuk guru (dan lain-lain) ialah Rasulullah. Guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain rasul Allah saw. Sebab rasul itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladankan bagaimana kehidupan yang dikehendaki Tuhan karena rasul itu adalah penafsir ajaran Tuhan. Secara psikologis ternyata manusia memang memerlukan tokoh teladan dalam hidupnya, ini adalah sifat pembawaan. Taklid (meniru) adalah salah satu sifat pembawaan manusia. Peneladanan itu ada dua macam, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan dan sebangsanya, sedangkan keteladanan yang disengaja adalah seperti memberikan contoh yang baik, mengerajakan shalat yang benar (Nabi berkata) : صلّوا كما رأيتموني اصلّي (رواه البخاري)“Shalatlah kamu sebagaimana shalatku (Bukhori). Keteladanan yang disengaja adalah keteladanan yang memang diserta penjelasan atau perintah agar meneladani. Dalam pendidikan Islam kedua keteladanan itu sama saja pentingnya. Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan secara tidak formal, yang sengaja dilakukan secara formal. Keteladanan yang dilakukan tidak formal itu kadang-kadang kegunaannya lebih besar dari pada kegunaan keteladanan formal.
5. Metode Pembiasaan
Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman. Apa yang dibiasakan ? Yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan. Oleh karena itu uraian tentang pembiasaan selalu menjadi satu dengan uraian tentang perlunya mengamalkan kebaikan yang telah diketahui. Inti pembiasaan ialah pengulangan. Jika guru setiap masuk kelas mengucapkan salam, itu telah dapat dikatakan sebagai usaha membiasakan. Bila murid masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan agar, bila masuk ruangan hendaklah mengucapkan salam, ini juga satu cara membiasakan.
Dalam pembinaan sikap, metode pembiasaan sebenarnya cukup efektif. Lihatlah pembiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah, perhatikanlah orang tua kita mendidik anaknya. Anak-anak yang dibiasakan bangun pagi, akan bangun pagi sebagai suatu kebiasaan, kebiasaan itu (bangun pagi) ajaibnya juga mempengaruhi jalan hidupnya. Dalam mengerjakan pekerjaan lainpun ia cenderung “pagi-pagi”, bahkan “sepagi mungkin”. Orang yang biasa bersih akan memiliki sifat bersih, ajaibnya ia juga bersih hatinya, bersih juga pikirannya. Karena melihat inilah ahli-ahli pendidikan semuanya sepakat untuk mebenarkan pembiasaan sebagai salah satu upaya pendidikan yang baik dalam pembentukan manusia dewasa.
Ajaibnya lagi, pembiasaan tidak hanya perlu bagi anak-anak yang masih kecil. Tidak hanya perlu di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Di Perguruan Tinggipun pembiasaan masih diperlukan. Pembiasaan merupakan metode pendidikan yang jitu, tetapi sayangnya kita tidak mampu menjelaskan mengapa pembiasaan itu amat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi seseorang. Ternyata pembiasaan tidak hanya mengenai yang batini, tetapi juga lahiri. Orang yang biasa memegang stir, lebih baik menyetir ketimbang orang yang menguasai teorinya, tetapi jarang membawa mobil. Pepatah mengatakan, “alah bisa karena biasa”. Berarti bahwa orang yang telah terbiasa dapat mengalahkan orang yang lebih mengetahui tetapi kurang terbiasa.
Kadang-kadang ada kritik terhadap pendidikan dengan pembiasaan karena cara ini tidak mendidik siswa untuk menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Kelakuanya berlaku secara otomatis tanpa ia mengatahui baik buruknya. Memang benar. Sekalipun demikian tetap saja metode pembiasaan sangat baik digunakan karena yang kita biasakan adalah yang benar. Kita tidak boleh membiasakan anak-anak kita melakukakan atau berprilaku yang buruk, .ini perlu disadari oleh guru sebab perilaku guru yang berulang-ulang sekalipun hanya dilakukan secara main-main , akan mempengaruhi anak didik untuk membiasakan prilaku itu. Metode pembiasaan berjalan bersama-sama dengan metode keteladanan, sebab pembiasaan itu dicontohkan oleh guru.
Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan. Rasulullah saw. berulang-ulang berdo’a dengan doa yang sama. Akibatnya dia hapal benar doa itu, dan sahabatnya yang mendengarkan doa yang berulang-ulang itu juga hapal doa itu.
6. Metode ‘Ibrah dan Mau’izah
An-Nahlawi sudah meneliti pengertian kedua kata itu. Menurut pendapatnya kedua kata itu mempunyai perbedaan dari segi makna. ‘Ibrah dan I’tibar ialah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya (1989:390). Adapun mauizah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya (h. 403).
Penggunaan ‘Ibrah dalam Qur’an dan sunnah ternyata berbeda-beda sesuai dengan objek ‘ibrah itu sendiri. Pengambilan ‘ibrah dari kisah hanya akan dapat dicapai oleh orang-orang yang berpikir dengan akal dan hatinya seperti firman Allah sebagai berikut :
لقد كان في قصصهم عبرة لأولى الالباب ماكان حديثا يّفترى ولكن تصديق الّذي بين يديه وتفصيل كلّ شيئ وّهدى وّرحمة لّقوم يّؤمنون (يوسف : ۱۱۱
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Isi Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, melainkan membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman” (Yusuf :111). (Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 1993)
Esensi Ibrah dalam kisah ini ialah bahwa Allah berkuasa menyelamatkan Yusuf setelah dilemparkan kedalam sumur yang gelap, meninggikan kedudukannya setelah dijebloskan ke dalam penjara dengan cara menjadikannya raja Mesir setelah dijual sebagai hamba (budak). Kisah ini menjelaskan kekuasan Tuhan. Allah mengatakan bahwa Ibrah (pelajaran) dari kisah ini hanya dapat dipahami oleh orang orang ynag disebut ulul albab, yaitu orang yang berpikir dan berzkir.
Pendidikan Islam memberikan perhatian khusus kepada metode ‘Ibrah agar pelajar dapat mengambilnya dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an, sebab kisah-kisah itu bukan sekedar sejarah, melainkan sengaja diceritakan Tuhan karena ada pelajaran (‘Ibrah), yang penting didalamnya. Pendidik dalam pendidikan Islam harus memanfatkan metode ini.
Rasyid Ridla, tatkala menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 232 menyimpulkan bahwa mauizah adalah nasihat dengan cara menyentuh qalbu (lihat al-Nahlawi, 1989 : 403). Kata Wa’z itu dapat berarti bermacam-macam.
Pertama berarti nasihat, yaitu sajian bahasan tentang kebenaran dengan maksud mengajak orang dinasihati mengamalkannya. Nasihat yang baik itu harus bersumber pada yang Maha Baik yaitu Allah. Yang menasehati harus lepas dari kepentingan dirinya secara bendawi dan duniawi. Ia harus ikhlas karena semata menjalankan perintah Allah dan aku tidak benar-benar meminta upah kepada kalian atas ajakan itu, upahku ada dari Allah Rabb semesta alam. (as-Syu’ara : 109, 127, 145, 164, 180).
وما اسئلكم عليه من اجر ان اجري الاّ على ربّ العلمين (الشعرا: ۱٠۹
Ayat ini diulang lima kali, hanya dalam surat ini, untuk menegaskan pentingnya keiklaasan dalam memberikan nasihat (mauizah). Keikhlasan itu menyangkut persoalan pedagogis. Nasehat yang disampaikan secara ikhlas akan lebih.”mujarab” dalam tanggapan pendengarnya. Nasihat yang tidak ikhlas tidak akan diterima oleh pendengar. Nasihat yang tidak ikhlas itu seolah-olah masuk dari telinga kiri ke luar dari telinga kanan. Entah mengapa begitu, sulit sekali dijelaskan.
Kedua, mauizah berarti tazkir (peringatan) yang memberi nasihat hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasihat itu meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasihati tergerak untuk mengikuti nasihat itu. Sekarang kedua pengertian ini harus digabungkan: nasihat itu harus ikhlas dan disampaikan berulang-ulang. Bila dilakukan demikian. Akan timbul dari pendengar, orang yang menashati itu memang mempunyai keprihatinan yang dalam terhadap nasib pendengarnya.
Tadi dikatakan bahwa nasihat (mauizah) hendaknya disampaikan dengan cara menyentuh kalbu itu tidak mudah akan tetapi, dengan keikhlasan dan berulang-ulang, akhirnya nasihat itu akan dirasakan menyentuh kalbu pendengarnya. Dalam hadits diceritakan:
وعظنا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم موعظة وجلت منها القلوب ودرفت منها العيون فقلنا يا رسول الله كأنّها موعظة مّودع فاوصنا…
“Rasululah saw. menasihati kami dengan nasihat yang menyentuh, yang membuat hati kami bergetar, dan karenanya hati kami mengeluarkan air mata. Maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ia merupakan nasihat orang yang menitipkan. Maka wasiatkanlah kepada kami.” (hadis, lihat al-Nahlawi, 1989:410)
Nasihat yang menggetarkan hanya mungkin bila “
- yang memeberi nasihat merasa terlibat dalam isi nasihat itu, jadi ia serius dalam memberi nasihat.
- Yang menasihati harus merasa prihatin terhadap nasib orang yang dinasihati.
- Yang menasihati harus ikhlas, artinya lepas dari kepentingan pribadi secara duniawi.
- Yang memberi nasihat harus berulang-ulang melakukannya.
Secara teori, nasihat yang menggetarkan hati haruslah nasihat dengan mengunakan bahasa yang menyentuh hati. Akan tetapi, itu tidak mudah. Secara operasional, nasihat akan dirasakan menggetarkan hati bila dilakukan dengan cara seperti di sebut di atas itu : prihatin, ikhlas, dan berulang-ulang.
7. Metode Targhib dan Tarhib
Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar orang mematuhi peraturan Allah, tarhib demikian juga. Akan tetapi, tekanannya ialah targhib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar menjauhi kejahatan.
Metode ini didasarkan atas fitrah (sifat kejiwaan) manusia, yaitu sifat keinginan kepada kesenangan keselamatan, dan tidak mengingatkan kepedihan, kesengsaraan.
Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dari metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan utamanya ialah targhib dan tarhib bersandarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran duniawi. Perbedaan itu mempunyai implikasi yang penting :
a. Targhib dan tarhib lebih teguh karena akarnya berada di langit (transenden), sedangkan teori hukuman dan ganjaran hanya bersandarkan sesuatu yang duniawi. Targhib dan tarhib itu mengandung aspek iman, sedangkan metode hukuman dan ganjaran tidak mengandung aspek iman. Oleh karena itu, targhib dan tarhib lebih kuat pengaruhnya.
b. Secara operasional, targhib dan tarhib lebih mudah dilaksanakan daripada metode hukuman dan ganjaran karena materi targhib dan tarhib sudah ada dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi, sedangkan hikuman dan ganjaran dalam metode Barat harus ditemukan sendiri oleh guru.
c. Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja; sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus disesuaikan dengan orang tertentu dan tempat tertentu.
d. Dipihak lain, targhib dan tarhib lebih lemah daripada hukuman dan ganjaran karena hukuman dan ganjaran lebih nyata langsung waktu itu juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan gaib dan diterima nanti (di akhirat).
Sampai di sini telah selesai dibicarakan tujuh metode pendidikan Islami yang pada dasarnya diambil dari buku an-Nahlawi yang berjudul Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (1989). Metode-metode itu terutama diperlukan dalam pendidikan keimanan yang memang merupakan inti dalam pendidikan Islam. Bagi pembaca Indonesia, metode-metode ini barangkali berguna bagi pendidikan keimanan dalam rumah tangga, di sekolah, dan di lembaga-lembaga pendidikan lain.
Pada bagian permulaan bab ini telah dikatakan bahwa pendidikan keagamaan pada segi psikomotor dan kognitif sekarang ini tidak menghadapi masalah yang gawat. Metode-metode pengajaran yang digunakan oleh orang Barat pada dasarnya dapat digunakan oleh guru-guru di sekolah Islam atau guru agama di sekolah umum. Untuk pendidikan segi afektif, dalam pendidikan agama Islam yang berupa pendidikan rasa iman, metode-metode yang tujuh macam di atas nampaknya dapat digunakan.
C. Teknologi Pendidikan dan Metode Pendidikan Islam
Gagasan mengenai metode-metode pendidikan Islam seperti telah diutarakan di atas dalam aflikasinya perlu ditunjang dengan teknologi. Di kalangan praktisi pendidikan tampaknya masih ada kekeliruan pandangan terhadap teknologi ini. Teknologi tidak harus selalu berarti perangkat keras (Hardware) saja. Setiap teknologi melibatkan perangkat lunaknya. Beberapa teknologi mungkin hampir sepenuhnya perangkat lunak (Software).
Ada dua definisi teknologi pendidikan/pengajaran. Pertama, teknologi adalah media pengajaran yang lahir karena revolusi komunikasi. Media yang dimaksud mencakup antara lain TV, film, proyektor, komputer, dan perangkat lunak pendukungnya. Definisi ini jelas menekankan perangkat keras yakni aspek mesin dalam proses belajar mengajar. Kedua, teknologi pengajaran adalah cara yang sistematis dalam mendesain, mengorganisir, mengatur dan mengevaluasi sumber-sumber manusiawi dan non manusiawi dalam keseluruhan proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan.
Bagi para pelaku pendidikan tampaknya definisi kedua ini lebih mendasar dan bermakna daripada definisi pertama. Bagi pendidikan, implikasi teknologi sebagai tindakan sistematis jauh berbeda dengan implikasi teknologi sebagai media ajar atau peralatan pengajaran. Jika definisi pertama yang dijadikan pegangan, maka praktek pendidikan mungkin hanya ditandai dengan diluncurkannya sejumlah media ajar ke dalam arena belajar mengajar, tanpa ada perubahan dalam strukutur program. Dalam situasi semacam ini, ada tidak adanya media ajar tidak berpengaruh pada hasil belajar artinya teknologi tidak berhasil guna.
Pendekatan sistem terhadap teknologi didasari premis bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien, segala komponen untuk mencapai tujuan itu mesti diorganisasikan diintegrasikan dan diatur. Artinya perlu adanya perencanaan, kesepakatan dan evaluasi terhadap setiap komponen manusiawi dan komponen non manusiawinya. Dengan demikian kehadiran materi audio visual dan media lain akan memberikan kontribusi optimal terhadap guru. Guru mungkin akan menemukan media ajar tertentu sebagai pengganti untuk memerankan fungsi yang biasa dilakukannya sendiri. Guru sebagai aflikator dari metode-metode pendidikan dan pengajaran perlu memiliki sikap positif terhadap teknologi pendidikan. Sikap ini akan tumbuh manakala ia yakin akan manfaat dari pemakaiannya. Ia juga perlu menguasai cara penggunaan media ajar sehingga ia dapat mengoftimalkan pemakaiannya.dan yang paling penting dari semuanya ini adalah pemahaman hakikat teknologi sebagai desain instrumental action yang ditempatkan dalam kerangka sistem yang melibatkan manajemen-manajemen pendidikan secara keseluruhan. Guru dapat mendesain sendiri bentuk aplikatif dari metode-metode pendidikan Islam. Bagaimana Hiwar Qur’ani dan Nabawi, kisah Qur’ani dan Nabawi dan metode-metode pendidikan Islam lainnya dapat diaplikasikan dalam bentuk teknologi pendidikan yang lebih nyata, sehingga betul-betul menjadi tafsir empirik dari tafsir maudu’i ini.
________________________________________
1 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet.5 (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 61
2 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,Cet. 3 (Jakarta: Logos, 1999) hal. 91
3 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Cet. 1 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1962) hal. 183
4 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam Cet. 3 ( Jakarta: Logos, 1999) hal. 92
5 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfad Al-Qur’an Al-Karim (tnp.: Angkasa, t.t.), hal. 425
6 Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 551
7 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Cet.1 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1962) hal 188
8 Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Cet. 1 ( Bandung: Cv. Diponegoro, 1989) hal. 283
9. Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Sohih Muslim, (Bandung: Dahlan, t.t.) jilid II hal. 145
10Imam Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sajistani, Sunan Abu Dawud (Bandung: Dahlan, t.t.) jilid 230

RELASI AGAMA DAN FILSAFAT

Oleh : Syafii Lubis
"Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini.Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki." (Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia)

Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini.
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Di samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam, dan semua ini yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat.
Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna. Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling bertolak belakang.
Anselm[1] dalam risalah filsafatnya yang berjudul "Proslogion" mengungkapkan kalimat yang menarik berbunyi: Saya beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa Anselm meyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.
Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal terdapat pada semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak diterima oleh semua manusia.
Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian adalah sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.
Mungkin masih terdapat sebagian penganut agama yang beranggapan bahwa ajaran-ajaran agama dapat dipahami secara rasional lewat pandangan-pandangan para filosof yang bukan penganut agama itu sendiri, menurut mereka adalah tidak urgen mengkaji dan mendalami filsafat untuk menafsirkan ajaran-ajaran suci agama. Anggapan ini sangatlah keliru, karena para filosof itu tidak mengetahui secara universal dan komprehensif ajaran-ajaran agama, jadi tafsiran-tafsirannya atas ajaran agama sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan.
Oleh karena itu, para analisis non-religius seperti Bertrand Russel dan Anthony Flew yang memandang ajaran agama dari luar tidak mampu menjelaskan dan menjabarkan substansi dan esensi ajaran agama secara sempurna. Sebagian pengkritik dan pengkaji ajaran agama dari luar dapat dikatakan bahwa mereka itu tidak memahami secara jelas dan proporsional tema pembahasan dan pengkajiannya sendiri. Sangat disayangkan, sebagian penganut agama tanpa sikap kritis dan selektif menerima apa adanya analisa dan penafsiran mereka.
Harapan umat beragama kepada para filosof non-religius adalah bukan pembenaran dan apologi terhadap hakikat ajaran agama, tetapi pengetahuan yang komprehensip dan proporsional terhadap ajaran agama dan keprihatinan yang cukup sebagaimana yang dimiliki para penganut agama. Di samping itu, yang paling urgen bagi mereka adalah pemahaman mendalam dan rasional atas ajaran-ajaran keagamaan dan bukan penerimaan secara awam terhadapnya. Seorang filosof non-religus yang memandang dan mengkaji ajaran agama dari luar, sebelumnya tidak mesti beriman kepada agama itu, tapi pengetahuan yang benar atas inti kajian.
Mengenai dikotomi agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya para pemikir terpecah dalam tiga kelompok: kelompok pertama, berpandangan bahwa antara keduanya terdapat hubungan keharmonisan dan tidak ada pertentangan sama sekali. Kelompok kedua, memandang bahwa filsafat itu bertolak belakang dengan agama dan tidak ada kesesuaiannya sama sekali. Kelompok ketiga, yang cenderung moderat ini, substansi gagasannya adalah bahwa pada sebagian perkara dan persoalan terdapat keharmonisan antara agama dan filsafat dimana kaidah-kaidah filsafat dapat diaplikasikan untuk memahami, menafsirkan dan menakwilkan ajaran agama.
Sangat penting untuk digaris bawahi bahwa yang dimaksud filsafat dalam makalah ini adalah metafisika (mâ ba'd ath-thabî'ah). Jadi subyek pengkajian kita adalah hubungan antara agama dan metafisika, namun metafisika menurut perspektif para filosof Islam.
Sebelumnya telah disinggung bahwa sebagian pemikir Islam memandang bahwa antara agama dan filsafat terdapat keharmonisan. Sekitar abad ketiga dan keempat hijriah, filsafat di dunia Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat, Abu Yazid Balkhi, salah seorang filosof dan teolog Islam, mengungkapkan hubungan antara agama dan filsafat, berkata, "Syariat (baca: agama) adalah filsafat mayor dan filosof hakiki adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran syariat."[2] Ia yakin bahwa filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusiaan.

Tentang Agama
Segala konsep teoritis, terkhusus yang berhubungan dengan manusia, senantiasa menjadi tema dan subyek analisa, pengkajian dan perdebatan, tak terkecuali konsep teoritis tentang agama. Oleh karena itu, tak bisa disangkal hadirnya berbagai pandangan tentang definisi dan pengertian agama yang hingga sekarang ini belum juga dihasilkan kesepakatan bersama, tapi kerumitan definisi ini bukan berarti bahwa manusia tidak dapat memahaminya secara universal. Robert Hume dalam hal ini berkata, "Agama sedemikian sederhananya bisa diamalkan dan dihayati oleh seorang anak yang baligh dan manusia dewasa yang berakal, tetapi akan rumit sekali ketika ingin dikonsepsi secara sempurna dan komprehensip, yang karenanya ia memerlukan analisa mendalam dan pengalaman keagamaan yang tinggi."[3] Definisi tentang agama sangat beragam karena berkaitan dengan seluruh dimensi kehidupan manusia seperti Etika, Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Filsafat dan Estetika.

Problematika Pendefinisian Agama
Definisi tentang agama memiliki kerumitan tersendiri karena beragam faktor, sebagian faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam metodologi pendefinisian agama. Sebagian mendefinisikan agama berpijak pada empirisme dan sebagian lain mendefinisikannya lewat pendekatan rasionalisme, fenomenologi, psikologi, dan sosiologi.
b.Perbedaan dalam penentuan individu-individu agama. Sebagian dari awal memandang bahwa aliran filsafat dan sosial dikategorikan kedalam individu-individu agama dan berdasarkan inilah agama itu didefinisikan secara luas.
c.Menyamakan antara esensi agama dan perilaku penganut agama. Para pengkaji agama yang mendefinisikan agama melalui pendekatan empirisisme dan fenomena-fenomena agama terkadang tidak lagi membedakan antara perilaku-perilaku penganut agama dan hakikat ajaran agama sehingga perbuatan negatif para penganut agama itu dimasukkan sebagai bagian dari definisi agama.
d. Pengkajian terhadap sisi internal agama atau eksternal agama. Sebagian orang mengusulkan bahwa untuk memahami hakikat dan esensi agama mesti merujuk pada wahyu dan teks-teks suci agama sebagai internalitas agama dan menjauhi segala metode, sumber dan sudut pandang yang merupakan dimensi eksternalitas agama, tapi sebagian juga menekankan penelitian terhadap agama mesti berangkat dari sisi eksternalitas agama; di samping terdapat perbedaan yang mencolok antara teks-teks suci semua agama juga terdapat keragaman model-model pendekatan rasional dari setiap aliran filsafat, hal inilah yang semakin memperuncing hadirnya perbedaan dalam pendefinisian agama.
e. Menggunakan istilah-istilah yang kabur dan tidak transparan dalam pendefinisian agama. Sebagian teolog menguraikan agama dalam bentuk yang rumit dan kompleks, realitas ini tidak dapat menjadikan definisi agama semakin jelas malah mengaburkannya.
f. Pendefinisian agama hanya secara leksikal dan harfiah. Sebagian teolog dalam mendefinisikan agama hanya merujuk makna leksikal agama seperti ketaatan, khusyu', pahala dan kepasrahan. Sementara metode seperti ini tak bisa mengungkap esensi agama, berlebih lagi kalau kata-kata tersebut dari awal tidak ditetapkan untuk mewakili makna agama itu sendiri.
g. Pendefinisian agama dipengaruhi oleh istilah-istilah epistemologi, antropologi, ontologi, pandangan dunia, dan ideologi. Tak satupun teolog dan filosof agama yang berangkat dari awal dalam pendefinisian agama, hampir semua memandang agama sesuai dengan latar belakang pemikiran dan disiplin ilmunya.
h. Agama tidak memiliki individu luar yang dapat terindera secara lahiriah. Problem lain dalam pendefinisian agama adalah agama tak mempunyai realitas eksternal yang mudah terindera secara lahiriah, karena suatu konsep yang tidak memiliki obyek luar di alam materi akan sangat sulit dipahami dan dimengerti sebagaimana mestinya.
i. Perubahan yang terjadi pada sebagian agama. Begitu banyak agama-agama yang mengalami perubahan dan penyimpangan disepanjang sejarah kehidupannya dan karena inilah lahir banyak aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang berbeda. Walaupun hikmah Ilahi mengharuskan minimal satu agama dan mazhab yang terjaga dari perubahan dan penyimpangan itu agar manusia mendapatkan petunjuk dan terus mengalami kesempurnaan. Tapi bagaimanapun adanya perubahan yang terjadi pada teks suci beberapa agama tak bisa disangkal dan menyebabkan perbedaan pendefinisian agama.
j. Pengetahuan yang tak komprehensif tentang agama. Memahami sebagian agama dan terfokus pada cabang agama (fiqih agama) akan berefek pada pendefinisian agama yang beragam.
Definisi Agama
a. Definisi leksikal agama
Kata agama dalam Kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi mempunyai makna antara lain: pahala dan balasan, ketaatan dan penghambaan, kekuasaan, syariat dan hukum, umat, kepasrahan dan penyerahan mutlak, aqidah, cinta, akhlak yang baik, kemuliaan, cahaya, kehidupan hakiki, amar ma'ruf nahi munkar, amanat dan menepati janji, menuntut ilmu dan beramal dengannya, dan puncak kesempurnaan akal.
b. Definisi gramatikal agama
1. Definisi agama menurut para teolog Barat:
- Agama adalah suatu sistem Ilahi yang ditetapkan bagi manusia yang memuat pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya.[4]
- Agama adalah suatu ketetapan Ilahi untuk umat manusia yang bertujuan membahagiakan manusia di dunia dan akhirat.[5]
- Agama ialah hukum dan undang-undang Ilahi yang mengajak orang-orang berakal menerima dan mengikuti seruan Nabi-Nya. [6]
- Agama adalah berikrar dengan lisan, yakin pada pahala dan siksaan di akhirat dan beramal sesuai hukum dan perintahnya. [7]
- Agama merupakan segala upaya dan usaha untuk menyingkap dan menyempurnakan hakikat kebaikan di dalam wujud kita.[8]
- Agama adalah keyakinan kepada kehendak Tuhan Yang Kuasa atas semua alam dan etikanya sesuai dengan watak manusia.[9]
- Agama yakni meraih pengetahuan hubungan antara manusia dan Tuhan dimana manusia bisa merasakan kekuasaan mutlak-Nya atas dirinya dan terus berharap akan nikmat-nikmat-Nya.[10]
- Agama yaitu kumpulan kepercayaan, simbol, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbedaan antara pengalaman spiritual biasa dan hakikat tertinggi. Pengalaman ini dari sisi implikasi dan maknanya memiliki keunggulan lebih kecil dari hakikat tertinggi yang bersumber dari yang non-pengalaman.[11]
- Agama adalah suatu sistem keyakinan dan perbuatan yang berhubungan dengan suatu hakikat tertinggi yang berada di luar jangkauan pengalaman spiritual dan menyeru para penganutnya membentuk suatu masyarakat yang beretika dan bermoral.[12]
- Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan prilaku yang memiliki kasih sayang, kelembutan, dan cinta dimana dengannya masyarakat dapat memikul beban kehidupan dan mengemban amanat tujuan hidup manusia. Dengan agama pula manusia bisa memaknai persoalan-persoalan seperti kematian, penderitaan dan tujuan penciptaan segala eksistensi.[13]
- Agama adalah kumpulan simbol-simbol yang jika diamalkan akan melahirkan motivasi dan kekuatan hidup manusia; agama sesuai dengan teori-teori universal tentang eksistensi dan hadir dalam bentuk simbol-simbol untuk merahasiakan hakikatnya.[14]

2. Definisi agama menurut para teolog Islam:
- Agama adalah kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan.[15]
- Agama adalah keyakinan kepada Pencipta alam dan manusia serta hukum-hukum praktis yang sesuai dengan keyakinan ini.[16]
- Agama adalah kumpulan hukum-hukum praktis yang berpijak pada suatu keyakinan, dan yang dimaksud dengan keyakinan di sini adalah bukan hanya ilmu teoritis, karena ilmu teoritis terkadang tak mengharuskan suatu amal, tapi sebagai ilmu yang terpancar dari keyakinan tertinggi yang meniscayakan amal[17]. Dan di tempat lain, agama didefinisikan sebagai kumpulan suatu keyakinan (kepada Tuhan dan kehidupan abadi) dan perasaan serta hukum-hukum yang sesuai dengan keyakinan itu dimana mesti diamalkan di dalam kehidupan manusia.[18]
- Agama adalah ilmu yang diterapkan di semua aspek kehidupan manusia untuk mengantarkannya pada kesempurnaan. Agama memiliki empat dimensi: pencerahan pemikiran dan keyakinan, pendidikan akhlak, penciptaan hubungan harmonis di antara manusia, dan penghapusan perbudakan dan penjajahan.[19]
- Agama adalah kumpulan keyakinan dan kepercayaan, hukum-hukum, dan etika yang bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur masyarakat manusia. Terkadang kumpulan keyakinan itu adalah batil, terkadang benar, dan terkadang gabungan benar dan batil. Jika kumpulan itu adalah benar, maka disebut agama yang benar dan bila batil disebut pula agama batil. Agama benar adalah keyakinan, akidah, dan undang-undangnya bersumber dari Tuhan, sementara agama batil berasal dari selain Tuhan.[20]

Hubungan Agama dan Filsafat Menurut Para Filosof
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis"[21]. Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami Filsafat dan ilmu Kalam (teologi). Di samping ia berusaha memadukan syariat dan filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyân dan beberapa kitab lainnya. Abul Hasan 'Amiri, salah seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga berupaya membangun keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan. Abul Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad 'ala al-Abad, menyatakan, "Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa pesan-pesan Tuhan."[22]
'Amiri memandang bahwa akal secara esensial mengikuti dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal dikategorikan sebagai hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa derajat akal apabila dibandingkan dengan jiwa sama seperti daya penglihatan apabila dihubungkan dengan mata. 'Amiri, dalam kitab as-sa'âdah wa al-isâd, juga menyinggung hubungan akal, jiwa dan alam materi, ia berkata, "Jiwa mengambil manfaat dari akal dan menyalurkan manfaat ke alam materi. Akal adalah kemuliaan dan kehormatan jiwa dan jiwa adalah pelayan akal. Ketika jiwa melayani akal maka pada jiwa akan nampak kesucian dan cahaya dan ketika ia meninggalkan akal maka akan nampak kegelapan dan kekotoran. Dengan demikian, kebodohan akan muncul dan berefek pada kehancuran dan kemaksiatan."[23]
'Amiri beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai kelayakan untuk menjadi khalifah Tuhan. Menurutnya, seseorang yang memiliki jiwa yang dicahayai oleh akal layak menjadi khalifah Tuhan yang mengatur, mengelolah dan membangun alam ini, dan di alam non-materi menempati kedudukan yang mulia dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan alam rendah (materi) dan dari dimensi akal berkaitan dengan alam tinggi. Dengan ibarat lain, khalifah Tuhan adalah substansi wujudnya memiliki kedudukan ruhani dan spiritual tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani terendah, maujud ini tidak lain merupakan sesuatu yang menghubungkan dan menggabungkan dua alam.
Dari perspektif di atas, 'Amiri menafsirkan makna kenabian dan menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu sisi terhubung ke alam ruhani dan pada sisi lain memanjang ke alam materi. Dengan begitu wahyu dapat didefinisikan menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam gaib ke alam materi. Menurut 'Amiri, walaupun jiwa di awal perwujudannya tak lepas dari pengaruh materi dan indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus dari cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa. Perlu diperhatikan bahwa meskipun jiwa senantiasa mengambil manfaat dari cahayai akal, tapi tanpa cahaya agama jiwa mustahil mencapai alam spiritual tertinggi. 'Amiri dalam menjelaskan hal itu mengambil sebuah pemisalan: dalam perkembang-biakan spesis tumbuhan di alam, semua tingkatan kesempurnaan satu spesis tumbuhan secara potensial terdapat dalam wujudnya, tapi untuk mewujudkan daun-daunnya, bunga-bunganya dan buah-buahnya mesti membutuhkan seorang tukang kebun. Jiwa manusia juga secara potensial memiliki semua derajat kesempurnaan, tetapi untuk mengaktualkan seluruh potensi yang dimilikinya niscaya memerlukan agama dan filsafat.
Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bisa dikatakan bahwa filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan keburukan akal, dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari pikiran-pikiran Mu'tazilah diketahui bahwa mereka ini berpijak pada konsep "syariat akal". Mereka mendefinisikan "syariat akal" sebagai berikut, "Salah satu syariat akal adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang terjadi pada seseorang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku padanya sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada orang lain. Perbuatan yang dia kerjakan secara tersembunyi dengan senang hati juga dilakukan secara terbuka".[24] Apa-apa yang dipandang akal sebagai keburukan digolongkan sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak dikerjakan.
Mereka yang berpijak pada "syariat akal" memandang bahwa hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam kitab al-Itmâm lifadhâil al-Anâm, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql). An-nusuk berarti ibadah, kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi adalah rasional dan apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga merupakan salah satu bentuk ibadah dan doa.
Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis (terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas segala sesuatu tersingkap baginya.
Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh filsafat Islam beranggapan bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu bentuk ibadah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan, karena itu ia berupaya merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya Dilâlah al-Hairîn, berkata, "Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia. Ilmu dan makrifat adalah salah satu bentuk ibadah yang sesungguhnya dapat mengantarkan seorang hamba dekat kepada Tuhan, makrifat dapat menyingkap hakikat dan rahasia eksistensi. Semakin tinggi dan sempurna pengetahuan manusia maka semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin dalam kecintaannya kepada-Nya"[25]. Walaupun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan, tetapi kecintaan seseorang kepada Tuhan berbanding lurus dengan ilmu dan makrifatnya.
Abu Nashir Farabi, pendiri maktab filsafat Islam, filosof yang juga berupaya menggabungkan antara agama dan filsafat. Filosof ini, setelah mengkaji secara mendalam persoalan kebahagian pada akhirnya berpendapat tentang bentuk tasawuf (pensucian diri) yang berpijak pada rasionalitas. Tasawuf Farabi merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada niat tulus, disiplin, dan motivasi yang kuat dalam sair suluk (perjalanan spiritual) serta bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan jasmani dan dunia, tapi juga menitikberatkan pada dimensi teoritis yang berpijak pada pemikiran yang mendalam. Menurut Farabi, kesempurnaan pensucian jiwa bukan hanya bergantung pada ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi oleh tafakkur, rasionalitas, dan pemikiran. Tak bisa disangkal bahwa ibadah-ibadah jasmani juga berpengaruh dalam pencapaian kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang diraih bersama dengan akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan yang lebih. Semakin sempurna akal-pikiran dan makrifat manusia, maka semakin dekat ia kepada alam transenden dan alam akal, dan ketika ia sampai pada derajat alam akal tertinggi, maka selayaknya ia memperoleh cahaya-cahaya Tuhan, puncak tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan makrifat Ilahi.
Dalam sejarah filsafat Islam, Syeikh Syihabuddin Suhrawardi adalah termasuk salah seorang filosof yang menentang pemisahan ajaran suci agama dan pemikiran filsafat, ia beranggapan bahwa keduanya terdapat kesatuan hakikat. Ia kemudian membangun sendiri sistem filsafatnya berpijak pada asumsi adanya kesatuan tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di antara agama-agama dan aliran-aliran pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu faktor utamanya adalah perbedaan dalam istilah.
Hakikat matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak menjadi banyak dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota hanyalah satu tapi pintu-pintunya sangatlah banyak dan jalan-jalan menuju ke kota itu tak berbilang banyaknya. Dari kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami bahwa Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinâyah (figuratif), dan bahasa kinâyah tidak dapat diketahui oleh banyak manusia. Bahasa argumentasi dan filsafat dapat dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan dan bakat yang cukup, tetapi memahami bahasa kinayah tak cukup hanya dengan kemampuan yang cukup itu. Untuk mengetahui bahasa kinayah diperlukan kemampuan istimewa yang hanya dapat dicapai dengan riyâdhah (disiplin spiritual), murâqabah (penjagaan diri dari segala kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat jiwa dan alam. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan dan perwujudan segala sesuatu hanya dilakukan oleh Tuhan, maka Dia pulalah yang memberikan hidayah kepada semua makhluk-Nya.
Di zaman ketika Syaikh Isyraq meletakkan pondasi filsafat Isyraqiyah (Iluminasi)nya di dunia timur Islam dimana menekankan pada kesatuan hakikat, juga Abul Walid bin Rusyd di dunia barat Islam lantang menyuarakan keharmonisan hikmah (baca: filsafat) dan syariat (baca: agama). Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Fashl al-maqâl fi ma baina asy-Syariah wa al-Hikmah, menjabarkan dan mengkaji aspek-aspek syariat. Ia di awal kitab Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah juga memaparkan masalah tersebut dan berkata, "Syariat terbagi dalam dua bagian, yakni lahir dan batin, dan batin syariat dikhususkan untuk para ulama, sementara mayoritas yang awam hanya diperintahkan untuk mengamalkan lahiriah syariat dan menghindari berbagai bentuk takwil. Bagi kaum ulama juga tidak dibenarkan mengungkapkan dan menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur penakwilan kepada masyarakat awam."[26] Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali As yang bersabda, "Berbicaralah kepada masyarakat sehingga mereka dapat memahami, apabila kandungan pembicaraan lebih tinggi dari pada kadar pemahaman masyarakat, maka dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para Nabi-Nya". Ibnu Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci, yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan beberapa makna batin. Tapi ia bukanlah orang pertama yang mengungkapkan hal-hal tersebut. Ibnu Rusyd dan juga semua orang yang percaya terhadap masalah itu, berkeyakinan atas keberadaan makna batin dimana apabila makna batin syariat dan ajaran agama disingkapkan kepada masyarakat awam akan mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan psikologis dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang memiliki penafsiran-penafsiran yang beragam.
Dengan demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai hakikat-hakikat yang saling bertolak belakang kepada Ibnu Rusyd adalah penisbahan yang tidak beralasan. Dalam aliran politik Latiny Ibnu Rusyd, penisbahan gagasan itu kepada Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi apabila diperhatikan bahwa perspektif hakikat batin syariat dan hakikat lahir syariat - yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd - ditempatkan secara berjenjang dan bergradasi, maka mustahil terdapat dua hakikat atau beberapa hakikat yang saling bertentangan. Dengan perspektif ini, mustahil pandangan tentang hakikat-hakikat yang saling berlawanan itu kita nisbahkan kepada Ibnu Rusyd. Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan dan kesesuaian antara agama dan filsafat senantiasa menjadi titik tekan para filosof Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu Rusyd kurang lebih menjabarkan masalah tersebut dan mereka mempunyai pandangan yang sama mengenai keharmonisan hubungan antara agama dan filsafat.
Pada abad kesebelas hijriah, muncul seorang filosof bernama Sadruddin Syirazi yang secara gemilang mengkaji hakikat eksistensi dan melahirkan gagasan-gagasan filsafat yang baru dan cemerlang. Ia meneliti hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ahlulbait Nabi As dan berkesimpulan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan bahkan terdapat keharmonisan di antara keduanya. Persoalan ini senantiasa ia tekankan di dalam banyak karya-karyanya, dalam kitabnya bertema Syarh Ushul al-Kâfi ia menafsirkan 34 hadits yang sahih berkenaan dengan akal dan keunggulan-keunggulannya. Hadits-hadits tentang akal ini memang paling banyak diriwayatkan dari Imam-Imam Suci Ahlulbait Nabi As yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis (muhaddits) Syiah. Sementara hadis-hadis seperti ini sangat jarang diriwayatkan oleh ulama dan ahli hadis Sunni dan bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa hadis-hadis yang berhubungan dengan akal adalah palsu.
Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan palsu. Perlu diperhatikan bahwa Sadruddin Syirazi di samping ia adalah seorang filosof besar juga merupakan ahli hadis, maka dari itu, hadis-hadis yang ia anggap sahih juga dipandang sahih oleh para ahli hadis lainnya.
Allamah Thabathabai, seorang filosof kontemporer, termasuk filosof yang tidak membenarkan adanya pemisahan antara agama dan filsafat, ia memandang bahwa argumentasi rasional-filosofis terhadap masalah-masalah teologi adalah hal yang bersifat fitrah bagi manusia. Dalam hal ini ia berkata, "Adalah salah satu bentuk kezaliman dan kesesatan apabila kita memisahkan antara ajaran suci agama-agama dan filsafat transenden. Apakah agama bukan kumpulan dari makrifat-makrifat Ilahi, akhlak, dan hukum-hukum? Apakah para Nabi dan Rasul tidak diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan mengantarkan manusia kepada hakikat kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki? Apakah kebahagiaan dan kesempurnaan manusia tidak terletak pada pengajaran suci agama dan pemberian akal kepada manusia oleh Tuhan untuk menyingkap berbagai rahasia-rahasia alam, mencapai puncak kesempurnaan makrifat atas hakikat-hakikat eksistensi, dan menjalani kehidupan yang seimbang serta menjauhi segala bentuk penyikapan yang ekstrim atas dimensi-dimensi kehidupan di dunia? Apakah manusia dapat menggapai pemahaman makrifat dan ilmu tanpa menggunakan argumentasi rasional, dalil akal, dan kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat manusia? Bagaimana dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi mengajak manusia menentang fitrah dan hakikat wujudnya sendiri serta menyeru manusia untuk menerima segala perkara tanpa dalil akal dan argumentasi rasional? Secara mendasar tidak terdapat perbedaan antara metodologi para Nabi dalam mengajak manusia kepada kebenaran dan apa-apa yang dicapai dan diraih manusia lewat argumentasi yang benar dan logis. Perbedaan keduanya hanya terletak bahwa para Nabi dan Rasul As mendapatkan pertolongan dari Sebab Pertama dan meminum langsung dari sumber wahyu."[27]
Para Nabi dan Rasul As memiliki kemampuan untuk turun dari derajat tertinggi dan berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal dans pemahamannya. Semua Nabi dan Rasul as tidak memaksa manusia untuk menerima segala hal tanpa dalil akal dan argumentasi rasional, mereka tidak mengajak manusia dengan taklid buta. Kitab suci al-Qur'an membahas masalah teologi (mabda), eskatologi (ma'âd), dan persoalan metafisika dengan berbagai burhan dan argumentasi. Kitab suci ini sangat memuji ilmu, makrifat, akal, dan kemandirian intelektualitas serta menentang segala bentuk kebodohan dan taklid buta. Tuhan dalam al-Qur'an berfirman:
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah dan dalil yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Qs. Yusuf: 108)
Sebagaimana ayat yang disaksikan di atas, Nabi dan Rasul as mengajak manusia kepada Tuhan berdasarkan hujjah, bashirah dan dalil yang nyata. Tak diragukan lagi bahwa ajakan dan dakwah para Nabi berpijak pada bashirah dan bukan taklid tanpa argumentasi. Dan ketika terdapat burhan dan argumentasi, maka kita tidak bisa menyatakan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan hikmah dan filsafat. Perlu diperhatikan bahwa filsafat itu jangan dipandang sebagai rangkaian dan kumpulan dari pemikiran, perspektif, dan gagasan filosof-filosof Yunani yang di antara mereka terdapat orang mukmin, kafir, yang benar, dan yang salah.
________________________________________
[1] . St. Anselm (1033 - 1109 M) adalah seorang teolog dan filosof abad pertengahan, ia berkebangsaan Italia dan kemudian tersohor setelah ia merumuskan argumen Ontologi tentang pembuktian eksistensi Tuhan.
[2] . Abul Qasim Baihaqi, Durratul Akhbâr wa Lum'atul Anwâr, hal. 28.
[3] . Robert Hume, Adyân-e Zendeh Jahân, penerjemah: Abdurrahim Gawohy, hal. 18.
[4] . John Nas, Târikh Jame' Adyân, penerjemah: Ali Ashgar Hikmat, hal. 79 dan 81.
[5] . Ibid.
[6] . Ibid.
[7] . Ibid.
[8] . Bradly, 'Aql wa 'Itiqâd-e Din, hal 18.
[9] . Ibid.
[10] . Ruwil, Mâhiyat wa Mansyâ'-e Din, hal. 112.
[11] . John Paul William, Jame' Syenâsi Adyân, penerjemah: Abdul Karim Gawahy, hal 171 dan 172.
[12] . Ibid.
[13] . Ibid, hal. 168.
[14] . Ibid.
[15] . Yâd Nameh Syahid Murtadha Muthahhari, hal. 117.
[16] . Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Aqâid, jilid 2, hal. 28.
[17] . Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jilid 15, hal. 8.
[18] . Muhammad Husain Thabathabai, Syi'ah dar Islâm, hal. 3.
[19] . Ja'far Subhani, Fashl Nâmeh Naqd wa Nazhar, nomor 3, hal. 19? .
[20] . Abudullah Jawadi Amuli, Syariat dar Âyine-ye Ma'rifat, hal, 93-95.
[21] . Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua, hal. 15.
[22] . Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad, hal 87.
[23] . Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'adah wa al-Is'ad, hal. 180.
[24] . Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'âdah wa al-Is'âd, hal 180.
[25] . Ibnu Maimun, Dilâlah al-hairîn, hal 722.
[26] . Ibnu Rusyd, Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah, hal 133.
[27] . Allamah Muhammad Husein Thabathabai, Ali as wa Falsafe-ye Ilahi, penerjemah: Sayyid Ibrahim Sayyid Alawi, hal. 11-12.